![]() |
Oleh Arif Hidayat |
Derasnya
arus modernisasi di Indonesia tidak hanya berdampak pada tatanan ekonomi dan
politik saja. Modernisasi juga telah mengikis sendi-sendi sastra. Hal ini
tampak dengan adanya gagasan mengenai “sastra adiluhung” dalam ranah
kesuastraan Indonesia. Memang, pernyataan mengenai sastra adiluhung tidaklah
se-populer istilah sastra sufi dan sastra profetik.
Dan,
melalui tulisan ini, saya ingin mengajak pembaca meninjau ulang mengenai
gagasan sastra adiluhung di Indonesia yang masih kontradiktif. Pasalnya, belum
ada batasan yang jelas untuk memformulasikan apa itu sastra adiluhung. Tulisan
ini tidak bermaskud untuk membuat dikotomi, tapi lebih tertuju pada ruang dan
lingkup sastra adiluhung dalam khazanah kesusastraan Indonesia.
Selama
ini, pandangan terhadap sastra adiluhung lebih dititikberatkan perhatiannya
pada eksistensi karya sastra yang mampu bertahan terhadap zaman sehingga sampai
sekarang masih dikenal oleh masyarakat, seperti Mahabarata dan Ramayana, Serat
Wedhatama, dan Centhini di Indonesia. Akan tetapi, ada yang menyebut sastra
adiluhung diorientasikan pada kandungan moralitas yang terepresentasi dalam
karya sastra. Itulah kontradiksi mengenai sastra adiluhung yang sampai sekarang
menjadi polemik. Padahal, apabila dipandang secara eksistensi dan kandungan
moralitasnya banyak karya sastra yang lebih hebat daripada Mahabarata dan
Ramayana Serat Wedhatama, dan Centhini di Indonesia.
Menurut
saya, ada distingsi historis yang menyebabkan masyarakat beranggapan bahwa
hakekat adiluhung tertuju pada moral(itas) dan norma zaman dahulu. Anggapan
tersebut tidak salah, namun berdasarkan esensinya, adiluhung merupakan falsafah
luhur dan mulia yang substansinya diturunkan dari budaya terdahulu ke masa
sekarang.
Dalam
buku buku Adiluhung tentang yang Suci dan Sejati (Ch’ing-chen ta-hsue) karya
Wang Tai, yang diteliti oleh Sachiko Murata, mengungkapkan esensi adiluhung
dalam konteks Cina. Buku tersebut ditulis oleh Wang Tai yang menyelaraskan
dengan prinsip Konfusian, dan Tao, dengan ajaran Islam. Wang Tai dengan seksama
membuat dialog ajaran tersebut dengan prinsip kebenaran yang dimiliki Islam.
Dalam praktiknya, ada transformasi budaya dari prinsip Konfusian, dan Tao yang
mengandung kearifan ke dalam nilai Islam pada masa Wang Tai.
Di
Indonesia, kita sering melihat adanya asimilasi budaya dan adat istiadat dengan
falsafah Islam. Hal ini terutama dipelopori Wali Songo di Indonesia dalam
menyebarkan ajaran Islam. Hasil dakwah yang telah dilakukan oleh Sunan Bonang
dan Sunan Kalijaga misalnya, mereka berdua berdakwah melalui seni dan budaya
dengan menggunakan wayang kulit sebagai medianya. Fonemena tersebut
mengilustrasikan akan peristiwa adiluhung, sedangkan sastra adiluhung
mengungkapkan fonemena asimilasi seperti itu.
Saya
menganalogikan bahwa jika yang dikatakan sastra sufi yakni karya sastra yang
mempersoalkan tauhid, dan sastra profetik mengungkap semangat kenabian, maka
esensi sastra adiluhung tertuju kepada karya sastra yang membicarakan
pelestarian budaya luhur dan mulia (kearifan).
Di
sini dengan jelas ada perbedaan yang signifikan mengenai “sastra adiluhung” dan
“karya sastra yang adiluhung”. Mahabarata dan Ramayana Serat Wedhatama, dan
Centhini di Indonesia secara esensinya termasuk karya sastra yang adiluhung
karena karya tersebut dipertahankan eksistesinya sebagai karya yang mengandung
moralitas tinggi.
Singkat
kata, apa yang disebut sastra adiluhung lebih terletak pada bagaimana karya
sastra tersebut mampu mengeksplorasi adanya sisi asimilasi budaya dengan
kebudayaan sekarang. Dalam permasalahan ini, yang ditekankan mengenai
nilai-nilai luhurnya (kearifan) sebagai falsafah hidup yang mampu membentuk
keperibadian. Sampai di sini, tulisan ini telah mengantarkan kita tentang dasar
sastra adiluhung.
Dengan
kuatnya arus modernisasi, maka falsafah luhur dan mulia yang dipertahankan dari
zaman dahulu hingga sekarang eksistensinya mulai memudar. Inilah yang
sebenarnya secara garis besar mewadahi paradigma sastra adiluhung. Peran dan
fungsi yang melatarbelakangi akan hal ini terdapat pada masa transisi
budaya-dalam modernisasi ini.
Perlu
adanya aksentuasi kearifan yang lebih eksploratif. Sudah semestinya kita
sebagai manusia, menghargai budaya sebagai pembentuk moralitas dan
keperibadian. Karena itu, sangatlah perlu meninjau ulang apa yang telah dicapai
dalam budaya kita, pembentuk watak dan keperibadian secara sejarah, sebagai
metode untuk mengoreksi perbuatan apa saja yang telah kita lakukan dalam
beberapa waktu ini. Untuk itu, sastra adiluhung merupakan jawaban yang tepat.
Sastra
adiluhung secara substantif mengilustrasikan dinamika sosial yang mengalir
lewat sublimasi sastrawan. Sublimasi ini terjadi dari dua dimensi, yaitu yang
ragawi dan rohani. Yang ragawi berdasarkan panca indra atas konstruks sosial
yang abstrak, sedangkan yang rohani berdasarkan kepekaan perasaan mengenali
gejala-gejala kehidupan.
Inilah
peran sastra sebagai dunia yang dinamis, di mana orang mampu menyelaminya
secara bebas dan berbagai variasi, maka sastra memiliki nilai yang beragam.
Tidak heran apabila Jhon F. Kennedy mengatakan apabila politik bengkok, sastra
yang meluruskan. Pendapat itu karena banyaknya nilai-nilai kemanusiaan dan
pesan moral yang ditawarkan di dalam karya sastra. Adapun secara proses, karya
sastra tersusun atas filosofi kehidupan yang menyatu dengan pengalaman empiris.
Karenanya, ungkapan seperti “daun gugur dari tangkainya” adalah ilustrasi
konkrit yang memiliki kandungan falsafah akan adanya sesuatu hal yang abstrak
yaitu kematian.
Jadi,
tidak ada salahnya untuk merenungi nilai-nilai luhur dan mulia sehingga kita
tidak timbul-tenggelam menghadapi kuatnya arus modernisasi yang cenderung
kapitalis. Adapun konsep adiluhung yang mewujud dalam karya sastra merupakan
fonemena (realitas) dan dapat dijadikan studi lanjut yang komprehensif dan
ilmiah.
0 comments:
Post a Comment - Kembali ke Konten