![]() |
Abdul Aziz Rasjid |
Wage, begitulah ia akrab disapa,
sehari-hari berkeliling mengayuh sepeda untuk menawarkan jasa sol sepatu di
daerah Purwokerto. Ayah dari lima anak ini secara fisik berambut gondrong,
berkulit coklat, juga memelihara kumis. Parasnya sepintas mirip penyair Leon
Agusta, yang pernah menjelaskan istilah puisi auditorium pada Temu Sastra 82 di
Dewan Kesenian Jakarta sebagai puisi yang ditulis dengan kesadaran komunikasi
dan bukan semata-mata kebutuhan berekspresi. Dilatar belakangi kesadaran
komunikasi itulah, Wage mengembangkan kesenangan membaca teks sastra tak hanya
dalam hati, tapi memilih melafalkannya untuk dinikmati bersama khalayak ramai.
Momen perkenalan saya dengan Wage,
mula-mula berlatar di halaman kantor Dewan Kesenian Kabupaten Banyumas. Di
antara cahaya lampu sorot dan penataan panggung yang didesain untuk mengenang
kematian penyair Rendra, ia membacakan puisi “Rick dari Corona” dengan
memainkan dua vokal ?pria dan perempuan? yang berdialog dengan irama
ceplas-ceplos untuk mendeskripsikan kegelisahan warga akar rumput di New York,
Amerika.
Sedang pertemuan terakhir saya, terjadi
beberapa bulan silam dalam acara pembacaan esai-esai jurnalis Uruguay bernama
Eduardo Galeano yang diadakan salah satu BEM Fakultas Sastra. Malam itu, Wage
tampil membacakan esai berjudul “Lima Perempuan Perkasa” yang diterjemahkan
Halim HD dari buku Century of the Wind. Saya masih teringat, mengawali
pembacaannya ia muncul di tengah penonton, berkata lantang bahwa musuh utama
yang dipelihara oleh banyak manusia adalah ketakutan. Dengan gesture yang kerap
mengepalkan tangan, ia mengisahkan lima perempuan yang melakukan aksi mogok
makan di malam Natal sebagai bentuk protes terhadap merajalelanya kelaparan di
Bolivia. Aksi ini lantas menginsiprasi ribuan rakyat Bolivia untuk melakukan
aksi serupa yang berkembang sebagai aksi mogok kerja dan memuncak dalam bentuk
protes turun ke jalan.
Di akhir pembacaan, Wage dengan tegas
mengucapkan ending yang menjelaskan bahwa lima perempuan itu berhasil
menjatuhkan rejim diktator Bolivia. Ia pun merepetisi ending itu dengan
mengajak penonton untuk ikut mengucapkan secara bersamaan. Jika repetisi
diasumsikan untuk mempertegas adanya sesuatu yang penting, mungkin Wage
bermaksud untuk menyebarkan sugesti pada penonton bahwa gerakan massa yang
marah, kecewa dan lapar tak akan dapat dibendung oleh rezim sekuat apapun.
Metode pembacaan yang dilakukan oleh Wage,
saya kira menghadirkan apa yang disebut Konstantin Stanilavsky dengan the Feeling
of true Measure dimana teks didramatisasikan dengan kadar atau takaran yang
benar. Pada teks “Lima Perempuan Perkasa” semisal, teks yang memuat kisah
pergerakan perlawanan massal ia siasati dengan cara pembacaan secara massal
pula, yaitu pelibatan suara serta emosi penonton sehingga suasana aksi massa
dalam teks menjadi terwakilkan.
Teks
Sastra & Mata
Di Indonesia, pembacaan teks sastra yang
direpresentasi sebagai pertunjukan memang telah berkembang sedemikan rupa dan
telah melahirkan bintang-bintang panggung sastra dengan ciri khas
masing-masing. Penyair Leon Agusta dalam esai bertajuk “Konsepsi Kepenyairan”
(terkumpul dalam Dua puluh Sastrawan Bicara. Sinar Harapan: 1984) pernah
mendaftar nama-nama penyair yang berhasil meninggalkan kesan tertentu ketika
berada di atas panggung: Menyaksikan Rendra sungguh menakjubkan, penampilan
Taufiq Ismail memikat dan mengasyikkan, Darmanto Yatman santai dan pintar
menggelitik, dan Sutardji Calzoum Bachri tampak bringas, penuh “terror” dan
tenggelam dalam ekstase.
Tetapi batas dinding panggung yang
memisahkan pembaca dan pendengar teks sastra pun didobrak. Adalah Wiji Thukul
yang mendekatkan diri pada publik dari rumah ke rumah, warung ke restoran,
kampus ke kampus dan berkeliling ke Solo, Bandung, Yogya, Jakarta, Surabaya
sampai ke Korea dan Australia untuk ngamen puisi dengan memposisikan diri
berada sejajar dengan para pendengar (Aku Ingin Jadi Peluru. Indonesiatera:
2004. h.219-220). Bahkan, teks sastra pun dalam perkembanganya berhubungan
mesra dengan kesenian pop, semisal Bimbo dan Chrisye yang melantunkan puisi
Taufiq Ismail.
Menurut pandangan Afrizal Malna dalam
prolog Sesuatu Indonesia, Personifikasi Pembaca yang Tak Bersih (Bentang
Budaya:2000), pembacaan teks sastra semacam itu telah melampui pagar teks itu sendiri
sebagai teks yang “menyaksikan” kepada teks yang “disaksikan”. Otoritas
kebebasan pembaca di depan teks tercetak berkurang banyak ketika ia harus
menyaksikan teks sebagai tontonan. Posisi pembaca teks berkedudukan lebih
penting daripada teks dan teks semakin riuh oleh banyaknya unsur pertunjukan
yang mengelilinginya.
Keriuhan yang mengelilingi teks memang tak dapat dihindari. Sejak awal, teks sendiri tak hadir secara netral pada pembaca melainkan tampil dalam tradisi kanonisasi atau korpus teks yang dibentuk menurut ideologi tertentu, yang bergerak dengan cara-cara tertentu di seputar lingkungan lembaga pendidikan. Kadangkala pula ketertarikan pada teks juga dipengaruhi riwayat capaian penulis yang ditanggapi sebagai parameter kualitas teks. Walaupun teks tak hadir secara netral, tapi mata pembaca bertemu langsung dengan setiap kata dalam teks yang dihubungkan dengan kata lain yang telah atau pun belum tersedia dalam kamus suatu bahasa.
Pertemuan mata pembaca dengan setiap kata
dalam teks inilah yang tak terjadi pada pembacaan teks sastra yang
direpresentasi sebagai pertunjukkan. Peran mata dialihkan untuk menghayati
gerak tubuh pembaca dan bekerja serempak dengan telinga yang mendengar
pelafalan atau lantunan teks sastra. Uniknya, pergeseran juga terletak pada
wilayah tafsir; jika teks sejatinya berpotensi didapat lewat penghayatan dari
membaca berulang-ulang, maka pada pembacaan sastra, tafsir teks justru berada
pada gesture dan cara pelafalan si pembaca teks.
Maka disinilah Feeling of true Measure berkedudukan
penting. Dan Wage Tegoeh Wijono adalah contoh dari lingkungan saya tinggal,
yang saya kira kerap berhasil mengeksplorasi teks sastra yang menumpang pada
bibir dan tubuhnya untuk diolah dengan kadar atau takaran yang benar untuk
memikat mata dan telinga penontonnya. Bukan hal aneh jika laki-laki yang
sehari-hari bekerja sebagai tukang sol sepatu ini berhasil melakukannya, karena
selain intim dengan membaca karya sastra dalam aktivitas sehari-hari,
pekerjaannya yang berhubungan dengan masyarakat umum menjadi modal berharga
sebagai pembentuk kesadaran keberlisanannya.
0 comments:
Post a Comment - Kembali ke Konten