Puisi-Puisi Gus Mus


Kaum Beragama Negeri Ini

Tuhan,
lihatlah
betapa baik kaum beragama
negeri ini
mereka terus membuatkanmu
rumah-rumah mewah
di antara gedung-gedung kota
hingga di tengah-tengah sawah
dengan kubah-kubah megah
dan menara-menara menjulang
untuk meneriakkan namaMu
menambah segan
dan keder hamba-hamba
kecilMu yang ingin sowan kepadaMu.

NamaMu mereka nyanyikan dalam acara
hiburan hingga pesta agung kenegaraan.
Mereka merasa begitu dekat denganMu
hingga masing-masing
merasa berhak mewakiliMu.

Yang memiliki kelebihan harta
membuktikan
kedekatannya dengan harta
yang Engkau berikan
Yang memiliki kelebihan kekuasaan
membuktikan kedekatannya dengan
kekuasaannya yang Engkau limpahkan.
Yang memiliki kelebihan ilmu
membuktikan
kedekatannya dengan ilmu
yang Engkau karuniakan.

Mereka yang engkau anugerahi
kekuatan sering kali bahkan merasa
diri Engkau sendiri
Mereka bukan saja ikut
menentukan ibadah
tetapi juga menetapkan
siapa ke sorga siapa ke neraka.

Mereka sakralkan pendapat mereka
dan mereka akbarkan
semua yang mereka lakukan
hingga takbir
dan ikrar mereka yang kosong
bagai perut bedug.
Allah hu akbar walilla ilham.

Gelisahku

gelisahku adalah gelisah purba
adam yang harus pergi mengembara tanpa diberitahu
kapan akan kembali
bukan sorga benar yang kusesali karena harus kutinggalkan
namun ngungunku mengapa kau tinggalkan
aku sendiri
sesalku karena aku mengabaikan kasihmu yang agung
dan dalam kembaraku di mana kuperoleh lagi kasih
sepersejuta saja kasihmu
jauh darimu semakin mendekatkanku kepadamu
cukup sekali, kekasih
tak lagi,
tak lagi sejenak pun
aku berpaling
biarlah gelisahku jadi dzikirku

Esensi dan Orientasi “Sastra Adiluhung”


Oleh Arif Hidayat
Derasnya arus modernisasi di Indonesia tidak hanya berdampak pada tatanan ekonomi dan politik saja. Modernisasi juga telah mengikis sendi-sendi sastra. Hal ini tampak dengan adanya gagasan mengenai “sastra adiluhung” dalam ranah kesuastraan Indonesia. Memang, pernyataan mengenai sastra adiluhung tidaklah se-populer istilah sastra sufi dan sastra profetik.

Dan, melalui tulisan ini, saya ingin mengajak pembaca meninjau ulang mengenai gagasan sastra adiluhung di Indonesia yang masih kontradiktif. Pasalnya, belum ada batasan yang jelas untuk memformulasikan apa itu sastra adiluhung. Tulisan ini tidak bermaskud untuk membuat dikotomi, tapi lebih tertuju pada ruang dan lingkup sastra adiluhung dalam khazanah kesusastraan Indonesia.

Selama ini, pandangan terhadap sastra adiluhung lebih dititikberatkan perhatiannya pada eksistensi karya sastra yang mampu bertahan terhadap zaman sehingga sampai sekarang masih dikenal oleh masyarakat, seperti Mahabarata dan Ramayana, Serat Wedhatama, dan Centhini di Indonesia. Akan tetapi, ada yang menyebut sastra adiluhung diorientasikan pada kandungan moralitas yang terepresentasi dalam karya sastra. Itulah kontradiksi mengenai sastra adiluhung yang sampai sekarang menjadi polemik. Padahal, apabila dipandang secara eksistensi dan kandungan moralitasnya banyak karya sastra yang lebih hebat daripada Mahabarata dan Ramayana Serat Wedhatama, dan Centhini di Indonesia.

Menurut saya, ada distingsi historis yang menyebabkan masyarakat beranggapan bahwa hakekat adiluhung tertuju pada moral(itas) dan norma zaman dahulu. Anggapan tersebut tidak salah, namun berdasarkan esensinya, adiluhung merupakan falsafah luhur dan mulia yang substansinya diturunkan dari budaya terdahulu ke masa sekarang.

Dalam buku buku Adiluhung tentang yang Suci dan Sejati (Ch’ing-chen ta-hsue) karya Wang Tai, yang diteliti oleh Sachiko Murata, mengungkapkan esensi adiluhung dalam konteks Cina. Buku tersebut ditulis oleh Wang Tai yang menyelaraskan dengan prinsip Konfusian, dan Tao, dengan ajaran Islam. Wang Tai dengan seksama membuat dialog ajaran tersebut dengan prinsip kebenaran yang dimiliki Islam. Dalam praktiknya, ada transformasi budaya dari prinsip Konfusian, dan Tao yang mengandung kearifan ke dalam nilai Islam pada masa Wang Tai.

Di Indonesia, kita sering melihat adanya asimilasi budaya dan adat istiadat dengan falsafah Islam. Hal ini terutama dipelopori Wali Songo di Indonesia dalam menyebarkan ajaran Islam. Hasil dakwah yang telah dilakukan oleh Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga misalnya, mereka berdua berdakwah melalui seni dan budaya dengan menggunakan wayang kulit sebagai medianya. Fonemena tersebut mengilustrasikan akan peristiwa adiluhung, sedangkan sastra adiluhung mengungkapkan fonemena asimilasi seperti itu.
Saya menganalogikan bahwa jika yang dikatakan sastra sufi yakni karya sastra yang mempersoalkan tauhid, dan sastra profetik mengungkap semangat kenabian, maka esensi sastra adiluhung tertuju kepada karya sastra yang membicarakan pelestarian budaya luhur dan mulia (kearifan).

Di sini dengan jelas ada perbedaan yang signifikan mengenai “sastra adiluhung” dan “karya sastra yang adiluhung”. Mahabarata dan Ramayana Serat Wedhatama, dan Centhini di Indonesia secara esensinya termasuk karya sastra yang adiluhung karena karya tersebut dipertahankan eksistesinya sebagai karya yang mengandung moralitas tinggi.

Singkat kata, apa yang disebut sastra adiluhung lebih terletak pada bagaimana karya sastra tersebut mampu mengeksplorasi adanya sisi asimilasi budaya dengan kebudayaan sekarang. Dalam permasalahan ini, yang ditekankan mengenai nilai-nilai luhurnya (kearifan) sebagai falsafah hidup yang mampu membentuk keperibadian. Sampai di sini, tulisan ini telah mengantarkan kita tentang dasar sastra adiluhung.

Dengan kuatnya arus modernisasi, maka falsafah luhur dan mulia yang dipertahankan dari zaman dahulu hingga sekarang eksistensinya mulai memudar. Inilah yang sebenarnya secara garis besar mewadahi paradigma sastra adiluhung. Peran dan fungsi yang melatarbelakangi akan hal ini terdapat pada masa transisi budaya-dalam modernisasi ini.

Perlu adanya aksentuasi kearifan yang lebih eksploratif. Sudah semestinya kita sebagai manusia, menghargai budaya sebagai pembentuk moralitas dan keperibadian. Karena itu, sangatlah perlu meninjau ulang apa yang telah dicapai dalam budaya kita, pembentuk watak dan keperibadian secara sejarah, sebagai metode untuk mengoreksi perbuatan apa saja yang telah kita lakukan dalam beberapa waktu ini. Untuk itu, sastra adiluhung merupakan jawaban yang tepat.

Sastra adiluhung secara substantif mengilustrasikan dinamika sosial yang mengalir lewat sublimasi sastrawan. Sublimasi ini terjadi dari dua dimensi, yaitu yang ragawi dan rohani. Yang ragawi berdasarkan panca indra atas konstruks sosial yang abstrak, sedangkan yang rohani berdasarkan kepekaan perasaan mengenali gejala-gejala kehidupan.

Inilah peran sastra sebagai dunia yang dinamis, di mana orang mampu menyelaminya secara bebas dan berbagai variasi, maka sastra memiliki nilai yang beragam. Tidak heran apabila Jhon F. Kennedy mengatakan apabila politik bengkok, sastra yang meluruskan. Pendapat itu karena banyaknya nilai-nilai kemanusiaan dan pesan moral yang ditawarkan di dalam karya sastra. Adapun secara proses, karya sastra tersusun atas filosofi kehidupan yang menyatu dengan pengalaman empiris. Karenanya, ungkapan seperti “daun gugur dari tangkainya” adalah ilustrasi konkrit yang memiliki kandungan falsafah akan adanya sesuatu hal yang abstrak yaitu kematian.

Jadi, tidak ada salahnya untuk merenungi nilai-nilai luhur dan mulia sehingga kita tidak timbul-tenggelam menghadapi kuatnya arus modernisasi yang cenderung kapitalis. Adapun konsep adiluhung yang mewujud dalam karya sastra merupakan fonemena (realitas) dan dapat dijadikan studi lanjut yang komprehensif dan ilmiah.

Identitas Wong Banyumas

Diskursus ihwal identitas tidak pernah tuntas dari pertarungan perebutan batas makna waktu dan ruang studi budaya. Identitias dalam konteks budaya menjadi demikian penting. Ia menjadi penanda seberapa besar seseorang merasa sebagai bagian dari sebuah entitas budaya atau etnis tertentu dan bagaimana identitas ini memengaruhi perasaan, persepsi dan perilakunya. Identitas budaya tidak pernah lepas dari faktor psikologis pribadi terhadap kelompoknya.
Kontestasi tentang batas pemaknaan identitas ini selalu menarik, lantaran identitas bukan sesuatu yang tetap, ia selalu berubah. Konstruksi identitas dibangun melalui proses yang panjang. Batas identitas selalu memunculkan titik perbedaan, ia terus bergerak selaras dengan perkembangan peradaban. Identitas dalam konstruksi budaya selalu mengalami pergeseran, perubahan, lentur, bahkan luntur. Jika kebudayaan yang dianut sekelompok orang mulai luntur, maka luntur pula identitas anggota kelompok tersebut. Di sinilah pentingnya konservasi nilai-nilai budaya guna meneguhkan konstruksi identitas dan jati diri bangsa.
"Anasir budaya sebagai konstruksi jadi diri dapat digali dari khasanah teks sastra, sebab sastra tidak pernah lahir dalam situasi yang kosong budaya. Karya sastra acap kali lahir sebagai respon sastrawan terhadap situasi sosial budaya yang melingkupinya. Sastra dapat lahir sebagai resistensi terhadap dominasi, pada saat yang sama ia hadir sebagai wujud penerimaan kondisi budaya. Karya sastra secara simultan merefleksikan jati diri penulisnya sekaligus merepresentasikan identitas kultural masyarakat di sekitarnya"
Buku ini berupaya mendokumentasikan identitas kultural wong Banyumas asli yang terepresetasi dalam teks sastra. Buku ini hadir sebagai rujukan budaya tentang identitas yang genuin wong Banyumas, yang saat ini telah mengalami pergeseran. Pada sisi yang lain, buku ini ditulis sebagai sebuah upaya konservasi teks kearifan lokal Banyumas.

Sastra yang Menumpang pada Bibir & Tubuh

Abdul Aziz Rasjid
Sejak awal, Wage Tegoeh Wijono menarik perhatian saya dengan kepiawaiannya melakukan pembacaan teks sastra di atas panggung. Ia pandai memadukan beragam elemen artistik: mulai dari pertautan emosi dan pesan teks, memadukan warna-warna vokal sampai kemungkinan gerak di antara sorot cahaya lampu dan properties panggung.
Wage, begitulah ia akrab disapa, sehari-hari berkeliling mengayuh sepeda untuk menawarkan jasa sol sepatu di daerah Purwokerto. Ayah dari lima anak ini secara fisik berambut gondrong, berkulit coklat, juga memelihara kumis. Parasnya sepintas mirip penyair Leon Agusta, yang pernah menjelaskan istilah puisi auditorium pada Temu Sastra 82 di Dewan Kesenian Jakarta sebagai puisi yang ditulis dengan kesadaran komunikasi dan bukan semata-mata kebutuhan berekspresi. Dilatar belakangi kesadaran komunikasi itulah, Wage mengembangkan kesenangan membaca teks sastra tak hanya dalam hati, tapi memilih melafalkannya untuk dinikmati bersama khalayak ramai.
Momen perkenalan saya dengan Wage, mula-mula berlatar di halaman kantor Dewan Kesenian Kabupaten Banyumas. Di antara cahaya lampu sorot dan penataan panggung yang didesain untuk mengenang kematian penyair Rendra, ia membacakan puisi “Rick dari Corona” dengan memainkan dua vokal ?pria dan perempuan? yang berdialog dengan irama ceplas-ceplos untuk mendeskripsikan kegelisahan warga akar rumput di New York, Amerika.
Sedang pertemuan terakhir saya, terjadi beberapa bulan silam dalam acara pembacaan esai-esai jurnalis Uruguay bernama Eduardo Galeano yang diadakan salah satu BEM Fakultas Sastra. Malam itu, Wage tampil membacakan esai berjudul “Lima Perempuan Perkasa” yang diterjemahkan Halim HD dari buku Century of the Wind. Saya masih teringat, mengawali pembacaannya ia muncul di tengah penonton, berkata lantang bahwa musuh utama yang dipelihara oleh banyak manusia adalah ketakutan. Dengan gesture yang kerap mengepalkan tangan, ia mengisahkan lima perempuan yang melakukan aksi mogok makan di malam Natal sebagai bentuk protes terhadap merajalelanya kelaparan di Bolivia. Aksi ini lantas menginsiprasi ribuan rakyat Bolivia untuk melakukan aksi serupa yang berkembang sebagai aksi mogok kerja dan memuncak dalam bentuk protes turun ke jalan.
Di akhir pembacaan, Wage dengan tegas mengucapkan ending yang menjelaskan bahwa lima perempuan itu berhasil menjatuhkan rejim diktator Bolivia. Ia pun merepetisi ending itu dengan mengajak penonton untuk ikut mengucapkan secara bersamaan. Jika repetisi diasumsikan untuk mempertegas adanya sesuatu yang penting, mungkin Wage bermaksud untuk menyebarkan sugesti pada penonton bahwa gerakan massa yang marah, kecewa dan lapar tak akan dapat dibendung oleh rezim sekuat apapun.
Metode pembacaan yang dilakukan oleh Wage, saya kira menghadirkan apa yang disebut Konstantin Stanilavsky dengan the Feeling of true Measure dimana teks didramatisasikan dengan kadar atau takaran yang benar. Pada teks “Lima Perempuan Perkasa” semisal, teks yang memuat kisah pergerakan perlawanan massal ia siasati dengan cara pembacaan secara massal pula, yaitu pelibatan suara serta emosi penonton sehingga suasana aksi massa dalam teks menjadi terwakilkan.
Teks Sastra & Mata
Di Indonesia, pembacaan teks sastra yang direpresentasi sebagai pertunjukan memang telah berkembang sedemikan rupa dan telah melahirkan bintang-bintang panggung sastra dengan ciri khas masing-masing. Penyair Leon Agusta dalam esai bertajuk “Konsepsi Kepenyairan” (terkumpul dalam Dua puluh Sastrawan Bicara. Sinar Harapan: 1984) pernah mendaftar nama-nama penyair yang berhasil meninggalkan kesan tertentu ketika berada di atas panggung: Menyaksikan Rendra sungguh menakjubkan, penampilan Taufiq Ismail memikat dan mengasyikkan, Darmanto Yatman santai dan pintar menggelitik, dan Sutardji Calzoum Bachri tampak bringas, penuh “terror” dan tenggelam dalam ekstase.
Tetapi batas dinding panggung yang memisahkan pembaca dan pendengar teks sastra pun didobrak. Adalah Wiji Thukul yang mendekatkan diri pada publik dari rumah ke rumah, warung ke restoran, kampus ke kampus dan berkeliling ke Solo, Bandung, Yogya, Jakarta, Surabaya sampai ke Korea dan Australia untuk ngamen puisi dengan memposisikan diri berada sejajar dengan para pendengar (Aku Ingin Jadi Peluru. Indonesiatera: 2004. h.219-220). Bahkan, teks sastra pun dalam perkembanganya berhubungan mesra dengan kesenian pop, semisal Bimbo dan Chrisye yang melantunkan puisi Taufiq Ismail.
Menurut pandangan Afrizal Malna dalam prolog Sesuatu Indonesia, Personifikasi Pembaca yang Tak Bersih (Bentang Budaya:2000), pembacaan teks sastra semacam itu telah melampui pagar teks itu sendiri sebagai teks yang “menyaksikan” kepada teks yang “disaksikan”. Otoritas kebebasan pembaca di depan teks tercetak berkurang banyak ketika ia harus menyaksikan teks sebagai tontonan. Posisi pembaca teks berkedudukan lebih penting daripada teks dan teks semakin riuh oleh banyaknya unsur pertunjukan yang mengelilinginya.
Keriuhan yang mengelilingi teks memang tak dapat dihindari. Sejak awal, teks sendiri tak hadir secara netral pada pembaca melainkan tampil dalam tradisi kanonisasi atau korpus teks yang dibentuk menurut ideologi tertentu, yang bergerak dengan cara-cara tertentu di seputar lingkungan lembaga pendidikan. Kadangkala pula ketertarikan pada teks juga dipengaruhi riwayat capaian penulis yang ditanggapi sebagai parameter kualitas teks. Walaupun teks tak hadir secara netral, tapi mata pembaca bertemu langsung dengan setiap kata dalam teks yang dihubungkan dengan kata lain yang telah atau pun belum tersedia dalam kamus suatu bahasa.
Pertemuan mata pembaca dengan setiap kata dalam teks inilah yang tak terjadi pada pembacaan teks sastra yang direpresentasi sebagai pertunjukkan. Peran mata dialihkan untuk menghayati gerak tubuh pembaca dan bekerja serempak dengan telinga yang mendengar pelafalan atau lantunan teks sastra. Uniknya, pergeseran juga terletak pada wilayah tafsir; jika teks sejatinya berpotensi didapat lewat penghayatan dari membaca berulang-ulang, maka pada pembacaan sastra, tafsir teks justru berada pada gesture dan cara pelafalan si pembaca teks.
Maka disinilah Feeling of true Measure berkedudukan penting. Dan Wage Tegoeh Wijono adalah contoh dari lingkungan saya tinggal, yang saya kira kerap berhasil mengeksplorasi teks sastra yang menumpang pada bibir dan tubuhnya untuk diolah dengan kadar atau takaran yang benar untuk memikat mata dan telinga penontonnya. Bukan hal aneh jika laki-laki yang sehari-hari bekerja sebagai tukang sol sepatu ini berhasil melakukannya, karena selain intim dengan membaca karya sastra dalam aktivitas sehari-hari, pekerjaannya yang berhubungan dengan masyarakat umum menjadi modal berharga sebagai pembentuk kesadaran keberlisanannya.

Seseorang Mencuri Hujan di Mata Ibuku


Aku bergegas menaiki bus yang tampak kelelahan. Dari jendela kaca, mataku nanar menangkap aroma kelelahan yang juga menjalar pada penumpang-penumpang  yang bergegas. Seperti diriku, aku pun tak menangkap jawaban kelelahan wajah-wajah itu. Entah untuk sebuah keberangkatan, atau untuk sebuah kepulangan. Hanya, kalimat pada sepucuk surat yang aku terima pagi ini dapat menjadi petunjuk bagi diriku sendiri. Setidaknya keberangkatanku dari terminal ini, adalah untuk sebuah kepulangan.
Seseorang telah mencuri hujan di mataku. Kau harus pulang hari ini! Demikian isi surat yang kini ku genggam erat, seiring keraguan yang mulai mengendap. Apakah keberangkatanku, atau tepatnya kepulanganku ini tidak sia-sia? Hanya untuk persoalan hujan?
Bus mulai berjalan. Asap hitam memenuhi udara. Menebar aroma tikus got dan bau roda-roda bus yang basah air kencing. Tembok-tembok pembatas terminal bercerita tentang sebuah tangan kekar yang menyisakan jari tengah tegak berdiri. Di sampingnya nampak lukisan seorang laki-laki bertubuh gempal dengan tato bergambar perempuan telanjang. Mungkin sudah ribuan penumpang -termasuk aku- menyimak gambar-gambar yang lebih tepat aku simpulkan sebagai galeri kekuasaan preman-preman terminal. Beberapa penumpang mungkin ketakutan menyimaknya. Tapi tidak bagiku. Yang aku takutkan hanya ini; keputusan untuk pulang.
Terminal kian jauh meninggalkanku. Ia tampak kecil dan tak sangar seperti yang ia tunjukan pada tombok-tembok pembatasnya. Kini, hanya deretan pohon-pohon lapuk berjalan di sepanjang jalan. Mataku tak sanggup menatapnya. Mereka membuat isi perutku keluar. Pohon-pohon yang berjalan itulah kiranya yang membuatku lebih suka memilih duduk di dekat sopir dalam setiap perjalanan. Setidaknya, dengan duduk di dekat sopir, aku hanya merasa pusing, dan memuntahkan isi perut ketika sampai tujuan.
Ragu kian mengendap. Ku baca berulang-ulang isi surat yang memintaku untuk berangkat pulang. Hanya untuk sebuah persolan hujan? Ah, perempuan memang suka dengan hujan. Biarlah, aku yakinkan diriku bahwa kepulanganku tidak sia-sia. Meski hanya untuk persoalan hujan.
Ingatanku mendarat pada sebuah tempat dimana dulu aku dipertemukan oleh hujan dengan perempuan yang kini memintaku untuk pulang karena alasan hujan. Sepele memang. Namun, karena hujan jualah aku menjadi tahu rahasia-rahasia yang terkubur di dalam matanya. Berpuluh-puluh tahun aku berburu rahasia-rahasia aneh pada sosok perempuan. Karena hujan jualah aku mengetahui segalanya, meski kini aku mulai lupa aromanya.
Ia berkata padaku, andai saja langit itu adalah bola matanya, pasti ia akan menurunkan hujan tiap waktu. Dan ia akan merasa hidup pada bagian dunia yang paling sunyi. Dunia dimana hanya ia dan Tuhan saja yang memahaminya.
“Dari hujan itulah aku membuatmu ada” katanya, “Dan hujan lah yang akan membawamu pulang ke pelukanku, meski bermil-mil jarak perjalanan kau tempuh”.
Aku gagal menerjemahkan kalimatnya, hingga bus yang lelah ini pada ahirnya harus membawaku pulang kepadanya setelah bermil-mil dan beribu-ribu waktu menjauhkanku darinya. Tiba-tiba aku takut. Takut perempuan itu akan memintaku untuk menerjemahkan kalimat-kalimatnya. Di kota, aku tak menjumpai buku-buku yang dapat membantuku untuk menerjemahkannya. Juga pada kitab-kitab suci. Aku gelisah. Terlempar pada sebuah pulau yang sangat terpencil dan berpenghuni kesunyian. Aku berharap akan ada malaikat yang duduk di sampingku, dan membantu menerjemahkan kalimatnya. Atau hujan yang segera turun membasuh mukaku. Mungkinkah ia masih ingin memelukku?
Kadang aku merasa hidup ini hanya soal-soal sepele. Entah bagi orang lain, termasuk perempuan itu. Tapi setidaknya perasaanku itu diamini oleh sebuah kisah pada sebuah koran yang aku temukan melekat di kaca bus. Seorang gadis belia bunuh diri hanya karena kekasihnya lupa membelikan hadiah ulang tahun. Atau sebuah kisah di balik koran itu, seorang bapak membakar tubuhnya hanya karena tak bisa membelikan susu untuk anaknya. Betapa sepele bukan?
Bus berhenti sejenak. Rupanya ia butuh energi untuk melanjutkan perjalanan. Setelah diisi bahan bakar, ia melaju kencang. Aku meminta agar sopir melambatkan perjalanan. Ku katakan kepadanya bahwa aku berani membayar lebih mahal untuk perjalanan ini. Juga ku katakan kepada penumpang lain bahwa aku takut jika bus ini terlalu kencang, aku tidak akan dipeluk oleh perempuan yang mengirim surat kepadaku pagi ini.
Mereka menjawab dengan diam. Sebagian tidur, sebagain lagi menjawabnya dengan muntahan isi perut yang berupa-rupa warna dan beraneka aroma. Aku sampaikan kepada sopir bahwa penumpang lain juga menyetujui ideku. Bus berjalan pelan. Sekali lagi aku merepotkan sopir dengan bertanya berapa jam lagi bus ini sampai ke terminal terahir. Lima jam lagi katanya.
Waktu yang semoga cukup, benakku. Cukup untuk berfikir sejenak dari hal-hal sepele seperti hujan misalnya. Atau kalimat; meski bermil-mil jarak yang kau tempuh, kau pasti akan pulang!.
“Apakah tujuan kita sama?” seseorang yang muntah tadi meminta jawaban dariku.
“Bus ini akan mengantar kita semua pada tujuan yang sama. Terminal!”
“Maksudku, apakah kita akan menuju kota yang sama?”
“Tidak! Aku akan menuju sebuah tempat sunyi dimana seorang perempuan menungguku untuk menerjemahkan hujan!”
“Kalau begitu kebetulan, tujuan kita tidak beda, nak”
Aku terkejut. Mungkinkah dunia ini serba kebetulan, atau memang Tuhan menggariskan kehidupan seseorang dengan lainnya sama? Anaknya yang semata wayang memintanya untuk pulang dengan membawa hujan. Lelaki ini berkata kepadaku bahwa sudah lama anaknya tidak bermain hujan. Di kampungya, kata lelaki pemabuk ini, kemarau telah merenggut keceriaan anaknya dari hujan. Dan kini, ia tak tahu bagaimana membawa pulang hujan sementara kemarau nampak enggan bergantian.
“Aku akan menangis untuk anakku jika memang hujan enggan turun” katanya, menghibur diri.
Menangis? Ide yang bagus, benaku. Tapi mungkinkah air mata adalah terjemahan dari hujan? Dan mungkinkah jika hujan yang ku terjemahkan demikian ia masih mau memelukku? Setidaknya satu jawaban telah aku temukan. Kemungkinan yang lainnya masih ku reka-reka.
Lelaki yang kini duduk di sebelahku ini pulas. Mungkin ia yakin dengan jawaban yang dilontarkan kepadaku tadi. Aku beranjak. Mendekati penumpang lain yang masih melek. Kalau-kalau yang masih melek itu punya tujuan yang sama denganku, dan dengan demikian aku akan mendapat jawaban yang lain.
“Apakah tempat tujuan kita sama bu?”
“Semua yang ada di bus ini punya tujuan yang sama. Terminal!” matanya tak bersahabat.
“Maksudku, apakah kita akan menuju kota yang sama?”
“Tidak! Tujuanku adalah ke kota dimana hujan tak pernah berhenti!”
“Kalau begitu kebetulan, tujuan kita tidak beda, bu”
“Kebetulan, katamu? Tidak mungkin! Hidup bukanlah soal kebetulan!”
“Dan soal hujan bu?”
“Aku hanya rindu pada hujan. Di kota ku tak pernah ada hujan. Jadi aku pulang untuk soal hujan saja!
“Maksudku, mungkin hujan adalah sesuatu yang sangat berarti bagi ibu?
“Ya. Hujan sangat berarti bagiku. Hujan mendekatkanku pada Tuhan. Hanya hujan yang mengerti Tuhan. Merindukan hujan, berarti merindukan Tuhan!”
Kemungkinan kedua setelah jawaban lelaki tadi adalah; merindukan hujan, berarti merindukan Tuhan! Baiklah, aku akan menyimpan jawaban ibu ini. Aku akan menyusunnya begini; sayang, aku datang membawa hujan. Lihatlah kedua bola mataku, dan usaplah kedua pipiku. Hujan di mataku membasahi pipi. Atau kemudian begini; sayang, sekarang aku paham, kerinduanmu kepada hujan, adalah keinginanmu bertemu Tuhan. Penerjemahanku terhadap hujan yang baru ku susun dalam kepalaku ini sementara cukup untuk menyusul pulas laki-laki yang duduk di sebelahku.
Tiga puluh menit lagi sampai. Begitu sang sopir memberitahukan kepada kami. Semua penumpang bersiap-siap. Sesekali mata mereka memandang ke arah kiri dan kanan jendela bus.
***
Ku ketuk pintu yang akrab dengan ingatanku. Tiga kali tak ada jawaban. Tujuh kali, sesosok tubuh perempuan dengan wajah sendu muncul. Aku terpaku lama di depan pintu. Muncul rasa ingin berlari dari pintu yang selangkah lagi aku sampai pada tujuan perjalanan. Sunyi menyergap dari berbagai arah. Pulau-pula yang berpenghuni sunyi melayang-layang di mataku. Lalu mendarat di gagang pintu seorang perempuan yang memintaku pulang.
“Kenapa ibu menangis?”
“Seseorang telah mencuri hujan di mataku” katanya, memelukku.
Aku diam. Ingatanku melayang pada jawaban-jawaban si lelaki pemabuk dan ibu renta yang matanya kurang bersahabat tadi.

Purbalingga, Maret 2012