Pulang! Bagiku adalah, kesunyian
kampung yang bersahaja. Dalam arti lain, dambaan, harapan, sekaligus sambutan
hangat dari wajah-wajah penduduk yang ramah. Arti ini pula yang dulu aku
tinggalkan di kampung. Kini, setelah berpuluh-puluh tahun hidup di kota, aku
memutuskan untuk pulang. Juga masih dengan arti kepulangan yang tetap.
Potongan berbentuk segi empat terlihat
jelas dari kaca bus. Segi empat yang tampak hitam, dan lengang. Segi empat itu
pula yang dulu mengantarku meninggalkan kampung. Persisnya aku lupa. Berapa
waktu aku tabung dalam ingatanku. Kelupaanku ini, ku simpulkan karena keriuhan
kota yang tidak menyisakan ruang sedikitpun dalam otakku untuk menyimpan
kesunyian. Kemungkinan yang mendekati kebenaran barangkali sekitar sepuluh
tahun. Lebih sehari atau dua hari, aku hidup di kota.
Keputusanku untuk pulang, tak lain
disebabkan oleh kerinduan yang menikam, atas telapak kaki ibu. Atas doa-doa
yang kerap ia peras dari pertiga malam. Juga atas butiran air yang meleleh dari
setiap sudut matanya. Lelehan sunyi yang menyimpan banyak ragam dan jenis
pengharapan. Dari seorang ibu kepada anaknya.
Di kota, kerinduan merupakan kata yang
murah. Lebih murah jika dibandingkan dengan kata ingat, kangen, sayang, atau
bahkan cinta. Kata-kata seperti profesionalisme, tepat waktu, karir, jam
tangan, dan uang, merupakan daftar kata yang mahal. Karena mahal inilah,
orang-orang di kota selalu berusaha membelinya. Bagi mereka, jika kata-kata
yang mahal telah terbeli, maka tidak akan susah untuk membeli kata-kata yang
murah. Logika ini aku terima pada awalnya. Namun, beberapa hari sebelum aku
memutuskan untuk pulang, logika ini tampak tidak logis, dan terkesan monoton.
Suatu jenis penyakit orang-orang kota. Demikian aku menamainya.
Aku tak bermaksud untuk memindahkan isi otakku setibanya di kampung nanti. Justru karena isi otakku penuh dengan banyak hal yang monoton, maka aku perlu memasukkan sesuatu yang segar dalam otakku. Orang-orang kota sering menyebutnya dengan refreshing, liburan, dan atau lain-lain. Kecuali, jika memungkinkan, tentu dengan beberapa prasyarat, aku akan menumpahkan, atau tepatnya membuang semua isi otakku di kali belakang rumahku. Misalnya, riak air aliran kali yang jernih, pinus-pinus yang lancip, dan kalimat-kalimat sederhana dari mulut-mulut penduduk kampung.
Jika keputusanku untuk pulang karena
alasan rindu, maka keberangkatanku ke kota dulu didasari alasan tradisi. Yaitu,
merantau. Banyak penduduk sebayaku pergi merantau. Dan, mereka kembali pulang
setelah punya cukup bekal cerita dari kota yang akan dikisahkan kepada orang
tua, tetangga atau handai tolan. Juga sedikit uang tak seberapa. Dan kepulangan
itu menyimpulkan sebuah kehormatan, atau sebaliknya. Tapi, aku tak yakin.
Kepulanganku yang hanya atas alasan rindu dapat dikategorikan sebagai sesuatu
yang terhormat. Apalagi jika harus ada syarat sedikit uang. Aku tak membawanya.
Kehormatan? Rasanya kata ini baru
muncul pada perjalanan pulang ini. Puluhan tahun aku tak memahami kata kehormatan
di kota. Apakah kehormatan di kampung juga harus diukur dengan nominal uang
seperti di kota? Jika demikian, tentu tak ada bedanya antara kota dan kampung.
Jika pemikiaran subyektifku ini benar, apakah kepulanganku juga sebuah
kesia-siaan?. Keyakinan untuk menjawab “tidak” lebih menebal dalam hatiku
ketimbang menjawab “ya.” Kesimpulkanku sementara, kepulanganku merupakan suatu
kehormatan.
***
Jalan-jalan yang menanjak dan berbelok
itu, seakan menahan bus yang aku tumpangi. Meminta ruang-ruang dalam otakku
agar setiap apa saja yang aku pandang dari dalam bus ini masuk kedalamnya. Satu
per satu, benda apapun itu, lewat di depan mataku, sebelum akhirnya mampir dan
mengendap dalam otakku. Sebuah pohon albasia, pelan, lewat di depan mataku.
Batangnya yang menjulang, adalah sebuah kisah kematian penduduk dalam
mempertahankan kelanjutan hidup binatang piaraannya. Kematian yang hingga detik
ini masih bermakna ganda bagiku. Mati demi ternak kambing, apakah sebuah mati
yang terhormat atau tidak, aku tidak tahu. Juga bukit-bukit karang itu, masih
tetap putih. Bentuknya yang tidak utuh, adalah sebuah kisah tentang ratusan
hulu ledak, dan ratusan nasib yang menggantung. Juga ratusan keheningan jika
ada yang terkena ledakan. Ketika aku berangkat ke kota, yang mati baru satu.
Entah sekarang.
Ah, benda pengangkut yang ku tumpangi
ini terasa kian berat membawa tubuhku yang hanya lima puluh kilo gram. Ditambah
dengan berat badan supir, dan tiga penumpang lain di belakangku. Jika ditotal
hanya mendekati beban lima kwintal kurang. Padahal, dalam surat-surat bus ini
tertera angka dua ton kemampuan jalan. Tapi, ini sungguh-sungguh berat. Sangat
berat. Laju bus jadi sangat pelan. Hal ini membuat semakin banyak benda yang
lewat di depan mataku.
Giliran seorang perempuan lewat di
depan mukaku. Aku melompat. Menubruk perempuan itu. Ia diam saja. Tubuhnya ku
peluk hingga tenaga terakhirku. Ia masih berdiam diri. Setelah ku jambak
rambutnya, baru ia tersenyum padaku.
“Kau
kah itu?” tanyaku, mengacu pada sosok perempuan yang menjadi alasanku pulang.
Ia
hanya tersenyum. Manis. Sangat manis. Bibirnya merah kinang. Gigi-giginya putih
karang. Lebar, melebar, terus melebar senyumnya. Hingga ku tempelkan biji
mataku, ia terus tersenyum. Semakin dekat, semakin ku rasa keganjilan dalam senyumnya.
Bibir itu berlumuran darah. Gigi-gigi itu berganti taring yang siap mencabik
mataku. Aku melompat ke belakang. Ia bukan perempuan itu. Aku tertunduk lemas.
Sebuah tangan menyentuh pundakku.
“Sudah
sampai mas?”
Aku
terjaga. Ku usap kedua biji mata. Bus kembali melaju untuk sebuah
keberangkatan, atau mungkin sebuah kepulangan. Entah.
Sunyi menyergap dari berbagai penjuru.
Sunyi yang tidak asing meski lama ku tinggalkan. Sunyi yang menyimpan aroma
kemarau. Penyimpan jati diri yang tak bakal lekang dimakan zaman. Aroma
kampung.
Sebuah bukit tegap menantangku.
Gambarnya hitam dimakan senja. Hanya lekukan lancip berlapis. Sebagian lancip
ku anggap sedang tersenyum memandang kepulanganku. Sebagaian yang lain, entah
aku menganggapnya atau tidak, tampak seperti raut muka berduka.
Aku membutuhkan waktu enam puluh menit untuk sampai di bukit itu. Atau mungkin lebih dengan berjalan kaki. Beberapa tukang ojek menawarkan jasa. Tapi ku tolak semua. Perasaan gembira menyeruak. Membangunkan bulu kuduku yang lelah digoncang bus. Gembira yang aneh tapi terasa nyata. Sangat nyata. Senyata kesunyian jalan-jalan ini. Kegembiraan yang tak bersyarat.
Ku ayunkan kaki. Selangkah dua langkah.
Jadi sekian langkah. Semakin banyak langkah, semakin banyak gembira
menghampiri. Ada beberapa gembira yang aku kenali sejauh langkah yang telah ku
tempuh. Seperti gembira yang berderet di sepanjang jalan ini. Mereka adalah
gembira-gembira para penggembala. Gembira para tubuh-tubuh petani berkeringat
penuh semangat. Dan selalu bernyanyi “ya” pada hidup. Gembira-gembira itu kini
erat memeluk tubuhku.
Ada juga beberapa gembira yang tak aku
kenali sebelumnya. Mereka duduk di menara-menara pohon kelapa. Di pohon-pohon
albasia. Gembira yang berwajah setengah pucat. Gembira yang menampilkan antara
senyum atau tidak senyum. Jenis gembira ini membuatku berhenti melangkah.
Menundukanku pada sebongkah batu lempung longsoran. Membuat gembira-gembira
yang aku kenali pelan-pelan melepaskan pelukannya. Senyumku tersumpal. Antara
berhenti atau tetap melanjutkannya.
“Jenis
gembira apakah kalian?” tanyaku.
“Kami
adalah gembira-gembira yang kehilangan arti hidup. Kami adalah gembira-gembira
yang terkubur oleh hiruk pikuk sunyi di kampung ini. Kami adalah
gembira-gembira yang dipaksa mengamini keadaan. Mengamini sesuatu yang bukan
kegembiraan. Atau dengan kata lain, kami adalah kegembiraan sekaligus
ketragisan”.
Tubuhku ambruk ke tanah. Air mataku
meleleh. Begitu cepat kegembiraanku lenyap. Berganti luka sunyi yang menganga.
Aku paksa kakiku untuk berlari. Meninggalkan sunyi sejauh mungkin. Meninggalkan
gembira-gembira yang tak ku kenali. Hingga aku berhenti di sebuah perbatasan.
Lima belas menit lagi, aku sampai di rumah. Semakin melangkah, lima belas menit
ini terasa semakin lama. Lebih lama dari gembira-gembira yang aku kenali.
Aku berlari. Menangis. Keras. Semakin
keras. Lelah. Semakin lelah. Tubuhku ambruk. Kedua kakiku tertanam di dalam
tanah. Kunang-kunang berhamburan. Kerlap-kerlip. Kuning. Menguning. Merah.
Memerah dan hitam. Sepi. Sunyi.
***
Gelap menyergap. Ini ku maklumi, karena
memang hari semestinya sudah gelap. Kemungkinan lain, aku buta setelah
perjalanan panjang ini. Syukurlah, mataku seperti menangkap sinar sebuah benda
langit yang jatuh. Mungkin bintang jatuh. Seketika aku berdoa. Semoga bintang
jatuh itu mengantarkanku kepada perempuan berbibir merah kinang. Aku yakinkan
kembali bahwa aku tidak buta, dan memang hanya hari yang sudah gelap, dengan
menengok kanan dan kiri.
Astaga! Kenapa rumah-rumah itu tampak
miring? Kaca-kaca jendela, teras-teras, kenapa miring? Tanya itu seketika
terhenti. Sebuah wajah hitam menyergap mukaku. Tangannya ku rasakan mengelus
kepalaku. Aku telah sadar, katanya. Rupanya aku jatuh pingsan. Wajah gelap yang
segera ku simpulkan seseorang itu mengatakan demikian.
“Mati?”
“Dua
hari yang lalu nak, tanpa meninggalkanmu warisan?”
Warisan?
Aku tak butuh warisan. Lagi pula semua penduduk tahu, perempuan itu adalah
perempuan miskin. Aku hanya butuh belaian tangannya. Dongeng-dongengnya. Juga
tangisannya.
Membelai rambutku, itu berarti kasih
sayang. Mendongeng, itu berarti aku sedang diajari kebaikan dan keburukan.
Terkadang, kebaikan itu muncul pada sosok petani, dan keburukan itu nampak pada
seekor kancil pada mimpiku. Dan tingisannya, adalah air berkah tentang dosa dan
pengampunan bagi doa yang diucapkan.
Mati! Itu berarti tak ada belaian, tak
ada dongeng, dan tak ada tangisan. Haruskah aku menangisi kematiannya?. Kenapa
dia harus mati? Bagaimana bisa dia mati?
“Ini
adalah nisannya, Nak?” orang itu menunjuk sebuah batu kecil, pada pagi harinya.
“Apakah
dia telah mati, tuan?” tanyaku.
“Ya!”
“Tidak,
dia tidak mati! Dia hanya pulang. Dan pasti akan kembali!"
Purbalingga,
November 2011
0 comments:
Post a Comment - Kembali ke Konten