Sirin


Mestinya, ia tidak harus pergi ke sawah sepagi ini. Namun, batasan umur tak membuatnya patah harapan untuk mengais rezeki. Ia kubur dalam-dalam perkiraan nasib mujur yang dulu ia gambarkan. Dan, ia menjadi terbiasa berkata pada dirinya bahwa nasib memang tak mudah ditebak. Betapa tidak, sebagai pensiunan penjaga sekolah negeri, tentu ia tidak harus pergi ke sawah sepagi ini. Seperti laki-laki renta lain di kampungnya, mestinya ia tinggal menikmati hari tua dengan meminum kopi atau menimang cucu di pagi hari. Apa hendak dikata, tak ada cucu, juga tak ada secangkir kopi sepagi ini. Nasib tak mudah ditebak! Demikian jawabnya jika pertanyaan-pertanyaan tersebut terjaga dalam kuburan ingatannya.
Orang-orang memanggilnya Sirin. Rautnya yang lapuk, membuat orang lupa nama aslinya. Ia hanya dipanggil Sirin. Ya, Sirin saja. Tanpa gelar, tanpa sebutan kehormatan. Semisal bapak, pak, eyang atau apapun yang menunjukan kehormatan. Sesuatu yang tak lazim bagi seorang pensiunan di kampungnya. Meski demikian, terkadang Sirin merasa miris. Bayangkan jika sekolah tempat dulu ia bekerja tidak mempunyai seorang penjaga. Apalagi, saat itu banyak pengangguran yang berpotensi menghilangkan barang-barang berharga milik sekolah. Atas perjuangannya, hingga ia pensiun, sekolah tampak aman dari ancaman pencurian. Belum lagi jika ia teringat akan masa-masa bekerja sebagai penjaga sekolah, nyaris tidak pernah tidur semalaman. Namun rasa miris itu ia tepis. Toh, baginya, yang terpenting sekarang adalah bagaimana bertahan hidup. Dan ia berkesimpulan bahwa tidak ada hubungannya antara nasib dengan gelar kehormatan.
Sirin cukup bersyukur. Meski tebakan nasibnya meleset, namun rupanya nasib juga yang masih memberinya kekuatan untuk bertahan hidup. Seperti pagi ini misalnya. Nasib masih memberikan kekuatan untuk pergi ke sawah, mencari kayu bakar, atau setidaknya memberikan kekuatan untuk mengusir rasa kesendiriannya.
Para lelaki seumur Sirin di kampungnya kerap menasehati untuk mencari pendamping lagi. Setidaknya, jika ia beristri lagi, ia tinggal menyeruput secangkir kopi di pagi hari. Atau, paling tidak ia dapat berbagai cerita tentang nasib hari ini kepada istrinya. Namun, nasehat-nasehat itu ia anggap angin lalu. Baginya, ia hanya ingin bertahan hidup sebelum Tuhan meminta kembali pada-Nya.
Kondisi seperti itu, membuat Sirin dapat merasakan bagaimana menjadi seorang perempuan bagi dirinya. Masak nasi di pagi hari, mencuci gerabah, pakaian, dan menyapu lantai tanah kamarnya. Setelah itu, ia berganti peran menjadi seorang laki-laki. Pergi ke sawah, mencari kayu bakar, dan menjualnya. Semuanya ia kerjakan sendiri. Tak apalah hidup sendiri, kata Sirin. Toh dalam keyakinannya, seorang lelaki kelak hidupnya sendiri. Keyakinan itu pula yang menjadikannya bersyukur dilahirkan oleh Tuhan sebagai laki-laki. Ia tidak dapat membayangkan jika ia terlahir sebagai perempuan. Tentu lebih banyak kerepotan, katanya.
Meski sendiri, ia tidak pernah meminta-minta kepada tetangga. Sirin tidak suka merepotkan orang lain, kecuali ada yang memberinya secara suka rela. Pun, ia tidak terlalu banyak berharap pada pemberian orang. Ia ingin membuat hidupnya lebih mudah. Tidak terlalu banyak berfikir, dan tidak hanya duduk diam. Ia akan mengerjakan apa pun yang ia mampu kerjakan.
Hanya satu kebiasaan Sirin yang barangkali tidak lazim bagi para tetangga. Ia lebih suka menyendiri di rumahnya selepas bekerja. Ia tidak suka bergaul dengan tetangga, dan tidak suka keramaian. Pernah suatu hari, ia bergaul dengan para tetangga, namun ia menjadi bahan tertawaan dan ejekan.
Ada yang mengatakan Sirin bodoh, ada yang menuduhnya setengah gila, ada juga yang menuduhnya tidak normal. Sejak ia kerap menerima kata-kata seperti itu, ia lebih suka menyendiri. Dunia tak lagi ramah, kata sirin, jika ia mengingat kata-kata ejekan itu. Ia dianggap bodoh ketika ia ketahuan tetangga menjual ayamnya di pasar dengan harga yang sangat murah. Jika ia tidak bodoh, tentu ia akan menjual ayamnya lebih mahal, kata beberapa tetangga. Sirin sendiri heran. Ayam yang ia jual adalah ayamnya sendiri. Harga yang ia tawar adalah tawarannya sendiri. Kenapa harus dianggap bodoh?.
Dan tuduhan setengah gila, kata Sirin, dituduhkan ketika ada seseorang yang mengetahui Sirin berbicara dengan ayam-ayamnya. Ia tak habis fikir. Kenapa ia yang berbicara kepada ayam-ayamnya harus dicap setengah gila?. Mereka tidak tahu, ayam-ayam itu adalah hidupnya. Si jalu, adalah ayam yang selalu setia membangunkannya dikala tetangga masih terlelap. Dan, ia merasa hanya si Jalulah -meski ia telah menjualnya- yang mampu memahami keadaan Sirin. Kemudian kasus yang membuatnya dianggap abnormal adalah ketika Sirin suka memberikan uang jajan kepada anak-anak kecil di kampungnya. Padahal, untuk makan sendiri pun masih kurang. Apakah ia abnormal, katanya, memberi uang jajan kepada anak-anak? Toh uang yang ia berikan tidak seberapa. Dan yang terpenting tidak setiap hari, katanya.
Kadang Sirin merasa heran. Apakah dia yang sudah gila, atau mereka para tetangga? Ah, Sirin tak mau ambil pusing dengan anggapan itu, meski ia jadi lebih suka menyendiri. Baginya, ia sudah berprinsip bahwa ia akan menjadikan hidupnya lebih mudah dan sederhana.
Seperti pagi ini misalnya. Seseorang meminta Sirin untuk membajak sawahnya. Ia cukup senang. Membajak sawah artinya, dalam satu hari, ia akan diberi upah yang cukup untuk makan tiga hari. Jika ia mampu merampungkan pekerjaannya dalam tiga hari saja, maka ia sudah dapat menyimpulkan akan mampu bertahan hidup selama sembilan hari, sambil menunggu pekerjaan lainnya, jika ada.
Matahari di atas kepala. Tiba waktunya bagi Sirin untuk beristirahat sejenak. Ia buru-buru berlari menuju sumber mata air. Dengan kedua telapak tangannya yang masih kotor, ia meminum sebanyak air yang dapat ia tampung. Kemudian ia melanjutkan pekerjaannya. Namun, ketika hendak berdiri, pandangannya dipenuhi kunang-kunang. Selang beberapa detik, semua berubah hitam. Ia merasa seperti terhuyung lalu ambruk.
Tubuhnya penuh dengan lumpur. Tangannya masih sempat bergerak mencari sesuatu yang dapat dijadikan pegangan untuk berdiri. Ia tertolong oleh sebuah tonggak jati yang bersemi. Tubuhnya terhuyung. Lalu ia duduk bersandar. Pandangannya masih gelap.
Dalam kegelapan pandangannya, Sirin menangkap bayangan serombongan perempuan bergaun putih dengan rambut lurus sepunggung menaiki kereta kuda. Rombongan itu menuju ke arahnya. Sirin terkejut. Sepertinya ia tidak asing dengan salah satu perempuan yang duduk di tengah rombongan itu. Ia tatap perempuan itu dengan tajam.
Rambut lurus itu, benaknya, pernah ia cium. Mata itu, pikirnya, pernah ia kecup. Hidung itu, bibir itu, dagu itu, dada itu, kaki itu…
“Sri,?” tanyanya, tak percaya dengan pemandangan di depan matanya.
“Akhirnya kau kembali, Sri. Ayo kita pulang. Aku masih sendiri Sri?” pinta Sirin.
Perempuan itu turun dari kereta kuda. Tangannya maju ke arah kepala Sirin. Jarinya yang lembut membelai rambut Sirin. Pelan, dan sangat halus. Mata Sirin terpejam. Belaian tangan itu, sungguh membuatnya tenang. Kelembutan jari-jari itu, adalah bagian semangat hidupnya dulu. Sirin merasa benar-benar dekat dengan perempuan itu. Pelan ia buka kedua matanya. Memastikan secara seksama bahwa tangan, jari-jari, dan belaian itu adalah milik Sri.
Namun, bukan kepalang terkejutnya ketika Sirin membuka kedua matanya. Perempuan itu berganti dengan rupa mengerikan. Rambutnya memutih. Mulutnya melebar. Perutnya membusung. Tangannya basah darah. Jari-jarinya berkuku panjang, siap mencengkeram dan merobek wajah Sirin. Ia melompat ke belakang, menghempaskan pukulan tangan ke arah perempuan itu. “Brakk!”.
Sirin tersadar. Ia rasakan kedua tangannya seperti terikat penjalin yang sangat kuat. Kedua kakinya seperti dirantai. Ia tidak bisa bergerak. Matanya terbuka. Lebar, dan semakin lebar. Ia terkulai lemah. Detak jantungnya pelan. Samar, ia dapati puluhan pasang mata menghujani pandangannya. Selang beberapa saat ia sadar, ia tengah dikerumuni penduduk.
“Syukurlah kau sudah sadar Sirin. Mulutmu tadi meracau memanggil-manggil Sri” uacap seorang tetangga.
“Benarkah aku memanggil nama Sri?” ucap Sirin, mengingat perempuan yang baru saja membelai rambutnya.
“Ya, kamu menyebut nama Sri, dan kau seperti memukulnya, hingga dipan yang menyangga tubuhmu ini hampir roboh!”
Sirin mencoba duduk. Melihat Sirin telah sadar sepenuhnya, para tetangga membubarkan diri.
Baru saja Sirin hendak meluruskan badan, sesosok anak kecil masuk tanpa mengetuk pinta. Sirin tahu betul anak kecil itu. Ia anak yang sering diberi uang olehnya. Tanpa basa-basi, bocah itu langsung menghujani pertanyaan bertubi-tubi kepada Sirin, perihal peristiwa yang baru saja ia alami.
Katanya, Sri adalah bekas istrinya. Dia pergi meninggalkan Sirin tidak lama setelah Sirin pensiun. Rupanya Sri tidak cukup kuat hidup dengan Sirin yang hanya mengandalkan uang pensiuanan tak seberapa. Ia meminta cerai, dan meminta agar kuasanya diberikan kepada Sri untuk mengambil uang pensiuanannya. Sejak saat itu, Sirin tidak bisa lagi mengandalkan uang pensiun karena sudah dilimpahkan kepada Sri. Yang paling menyakitkan, kata Sirin, adalah ketika anak-anaknya mengikuti ibunya.
Sejenak Sirin berhenti bercerita. Matanya tajam memandang wajah bocah kecil yang bersimpuh di hadapannya. Ingatannya melayang pada sosok bocah kecil serupa di hadapannya. Dua tahun lalu, ia berumur satu setengah tahun. Polahnya hampir sama dengan bocah yang seperti sedang menyimak dongeng di hadapannya. Hanya, bocah di depannya itu enam tahun lebih tua.
Sirin lantas melanjutkan ceritanya, setelah bocah itu merengek menghiba. Dan yang pasti, lanjut Sirin, ia tidak bodoh. Tidak setengah gila, dan tidak abnormal. Ini hanyalah jalan hidup yang mesti ia lalui, katannya. Bocah itu mengangguk-anggukan kepalanya seolah mengerti betul perasaan Sirin.
Hidup ini nak, kata Sirin, tidak semudah yang kita bayangkan. Tidak ada satupun jaminan kita akan hidup lebih baik, meski dalam padangan orang, kita dinilai lebih baik dari mereka. Apalagi, tambah Sirin, engkau terlahir sebagai lelaki.
“Apakah aku contoh yang baik atau yang buruk, engkau yang menilainya, Nak?” ucap sirin, menitikan air mata.
Bocah itu berdiri. Kemudian ia rebahkan tubuhnya di atas tubuh Sirin. Kedua tangannya memeluk Sirin. Sambil mendekatkan mulutnya ke telinga Sirin, bocah kecil itu berucap lirih.
“Eyang…?”
“Terima kasih, Nak, kau telah memanggilku eyang…”

Purbalingga, November 2010

Recommended Posts :

0 comments:

Post a Comment - Kembali ke Konten