Lengkap sudah syair lagu
itu menerjemahkan penderiataannya. Setelah sepuluh tahun berlalu, tak sepatah
kabarpun ia peroleh dari separuh nyawanya. Kini, hidupnya adalah separuh jiwa
yang mati. Ia berikrar pada bumi dan langit untuk menyudahi nyawanya yang
tinggal setengah. Ia ingin mati. Mati yang sempurna. Ia ambil sebilah pisau
dapur. Matanya nanar memandang bagian dadanya yang bidang. Sekali saja ia
hujamkan pisau itu di tengah dadanya, maka sempurnalah matinya. Ia pejamkan
mata. Menarik nafas dalam-dalam. Membulatkan rencana menyudahi nyawanya yang
tinggal separuh itu.
Namun, fikirannya tak
lekas membulatkan rencana itu. Sebaliknya, fikirannya membulat pada sebuah
wajah perempuan. Semakin bulat, semakin nyata. Wajah, senyum, dan bagian-bagian
tubuh yang begitu tak asing baginya.
“Mas, tunggu aku pulang…!”
“Tidak Sri, bukan kau yang akan ku
bulatkan di kepalaku. Kau sudah mati Sri, tunggu aku Sri!”
Perempuan itu
melayang-layang di atas kepalanya. Sesekali senyumnya menyumbal. Pada
penghabisan pandangan, matanya memuntahkan air. Lantas lenyap berganti warna
hitam. Lengkaplah ketidakbulatan rencana lelaki itu. Pisau yang semula erat di
genggamannya kini lunglai di tanah. Matanya terbuka. Ia menangis. Airnya
seperti air mata yang muntah dari mata perempuan itu.
Berhenti menangis,
giliran sepi menggantikan mata pisau dapur di tanah. Mata sepi itu benar-benar
menusuk jantungnya. Bukan menghabisi nyawanya yang separuh, namun ia rasakan
seolah kehidupan lain hadir dalam dirinya. Entah hidup apa namanya. Ia
memutuskan untuk berlari kencang. Lebih kencang dari angin senja yang menerpa
tubuhnya tatkala dulu ia bertemu dengan Sri di sebuah bukit kecil. Ia terus
berlari. Ia tabrak benda apapun yang ada dihadapanya. Lelah dan berdarah, jatuh
dan bangun ia berlari menuju bukit kecil itu.
Di tengah sengal
nafasnya, ia sempat mengutuk perbuatannya itu. Benaknya, kenapa ia jadi seperti
anak kecil? Bukankah sebenarnya sangat sederhana hidup ini? Pada mulanya
hanyalah sebuah pertemuan dengan seorang perempuan yang ia panggil Sri.
Keduanya menikah. Selanjutnya adalah harapan.
Ya, harapan. Harapan
akan hidup yang lebih baik dari sebelumnya. Sri pergi merantau ke negeri
seberang. Setahun dua tahun, Sri menyisihkan rezeki untuk suaminya. Ia berpesan
pada suaminya untuk membangun rumah sederhana di bawah bukit. Dan baru
setengahnya saja rumah itu berdiri. Tiga tahun empat tahun Sri jarang
menyisihkan rezekinya. Lima
sepuluh tahun tak ada kabar sama sekali. Usaha untuk memenuhi harapan hidup
itulah yang menjadikan hidup tidak sesederhana yang mereka pikirkan.
Selanjutnya, lelaki itu menyadari
bahwa hidup memang tidak sederhana. Dan di atas bukit kecil, ia seperti
menyesali hidup. Menyesali pertemuannya dengan Sri.
Penyesalan yang kini ia rasakan, selaksa mengamini bahwa apa yang baru saja terjadi dalam dirinya bukanlah perilaku anak kecil. Pikirannya kembali setengah bulat pada rencana awal. Rencana menghabisi separuh nyawa dalam tubuhnya. Baginya, hidup hanyalah penderitaan. Penderitaan itu menyulap dirinya menjadi mahluk yang asing. Entah mahluk apa namanya. Sungguh ia merasa terasing. Sangat asing dari asing itu sendiri. Ia kembali berlari menuju rumah. Membulatkan rencana menghabisi separuh nyawanya dengan pisau dapur.
Sampai di rumah, bukan
kepalang terkejutnya. Matanya menangkap sesosok jasad perempuan yang bersimbah
darah. Lantai tanah berubah merah. Sebuah pisau menancap di dada jasad itu.
Lelaki itu begitu akrab dengan jasad itu.
Ia kembali menyesal.
Jika saja pisau dapur itu ia buang tentu ia tidak akan melihat jasad perempuan
itu. Atau bila saja pisau dapur itu ia kubur, tentu ia tidak akan melihat
genangan darah di lantai rumahnya. Kini, genaplah ia menjadi lelaki yang
kesepian dan terjangkit penyakit keasingan. Sejak saat itu, ia pasrahkan
hidupnya pada alam.
“Aku tidak akan menghabisi nyawaku
yang tinggal separuh ini” begitu nyanyinya pada setiap orang yang lewat di
depan rumahnya. “Hai..aku mencintai hidupku yang sepi dan asing ini. Aku
menyayangi ketragisan ini. Sungguh aku menyayanginya!”
Orang-orang terlanjur
menganggapnya gila. Mereka membiarkan lelaki itu bernyanyi sendiri. Pada satu
kesempatan, tak jarang orang-orang melihatnya menangis. Pada kesempatan lain,
mereka melihat lelaki itu terbahak-bahak. Menubrukan kepalanya pada tiang-tiang
teras rumahnya. Menari-nari. Meraung-raung. Sejadi-jadinya.
Agaknya perilaku lelaki itu dianggap
telah bertentangan dengan peraturan kampung. Oleh karenanya, atas kesepakatan
warga dan sesepuh kampung, lelaki itu di arak ke atas bukit.
“Kenapa kalian mengarakku!”
protesnya.
“Karena kau lelaki gila” pemuda
tanggung menyahutnya.
“Hai…aku tidak gila. Aku masih
waras. Aku hanya kehilangan separuh nyawaku” katanya. Tak ada suara
menimpalinya. Setelah mengikat kedua kakinya, warga pergi meninggalkannya.
“Tunggu…! Sesepuh kampung, tolong
lepaskan tali di kakiku ini. Aku tidak gila. Aku waras, sesepuh!”. Tak ada
suara. Warga membalikan badannya lalu pergi meninggalkan lelaki itu. Tak ada
apa-apa. Yang ada hanya suara lelaki itu, semakin jauh dari telinga warga.
Hujan membasahi kampung.
Kalen-kalen berwarna coklat. Talang-talang luber. Dinding-dinding rumah
setengahnya kotor. Bacin paceran membuncah. Tai-tai terbawa air. Sampah-sampah
berserakan. Hujan terus berlanjut. Sejak lelaki itu diarak warga siang tadi,
hujan belum lelah membasahi tanah. Bahkan, kini mulai membanjiri rumah-rumah
warga. Mulanya semata kaki orang dewasa. Lama kelamaan selutut, sepusar, lalu
sedada orang dewasa. Beberapa warga yang beranak kecil meninggalkan rumah
menuju ke tempat yang lebih tinggi. Di kampung itu hanya ada satu tempat
tinggi. Tempat dimana lelaki itu diikat warga. Suara kentong sebanyak lima kali ketukan membuat
warga berduyun-duyun naik ke tempat yang lebih tinggi. Bagi sebagian warga yang
telah berada di atas bukit, kampung mereka berubah menjadi lautan berwarna
coklat.
“Sesepuh, kenapa hujan ini
menenggelamkan kampung kita!” seseorang bertanya pada sesepuh kampung.
“Apakah para dewa sedang marah!”
lainnya menyahut. Sesepuh terdiam. Ia teringat lelaki gila yang tadi siang
diarak. Ia berlari ke puncak bukit. Sesepuh kaget. Air hujan yang
menenggelamkan kampung rupanya bukan dari langit, tapi dari mata lelaki gila
itu. Ia sedang menangis. Dan, air matanya menenggelamkan kampung.
“Hentikan tangisanmu wahai lelaki
gila!” pinta sesepuh.
“Sesepuh! Jangan suruh aku berhenti
menangis. Aku sedang menikmati tangisanku ini. Tangisku ini adalah tangis
bahagia. Ternyata aku hidup bahagia, sesepuh!” jawabnya.
“Hentikan tangisanmu, su! bentak
sesepuh.
“Ha...ha…aku tidak mungkin
menghentikan tangisan ini sesepuh, aku sedang berbahagia.
Sungguh bahagiaku ini
adalah bahagia yang tak ada bandingnya. Mari ikut menangis saja sesepuh, biar
aku bisa berbagi kebahagiaan. Lihatlah wajah-wajah penduduk kampung sesepuh,
lihatlah kecemasan memoles wajah-wajah mereka ha..ha..Lihat juga wajahmu
sesepuh, wajahmu pucat. Matamu menyimpan kecemasan dan keputusasaan. Lihatlah
dirimu sesepuh?”. Sesepuh kampung berlari ke bawah bukit. Dan kembali ke atas
bukit dengan seorang perempuan yang berlumur darah. Melihat perempuan berdarah
itu, lelaki gila berhenti menangis. Hujan reda. Pelangi melengkung di seberang
kampung.
“Lihat siapa yang ku bawa ini lelaki
gila, ha…ha…!”
“Bunuh saja aku sesepuh!” rintih si
lelaki.
“Membunuhmu berarti melanggar hak
azasimu. Agar air matamu tidak menenggelamkan kampung, biar ku ikat saja jasad
perempuan ini di depan matamu. Ha..ha..!” sesepuh menang. Selesai mengikat
jasad perempuan itu pada sebuah batang pohon, sesepuh pergi meninggalkan lelaki
gila itu.
Sepi kembali menyergap.
Lelaki itu terdiam. Air matanya tertahan. Kebahagiaan yang baru saja ia
tumpahkan, kini lenyap. Jasad perempuan di hadapannya seolah tertawa setelah
merebut kebahagiaannya. Ia ingin membuang jasad itu, namun kakinya terikat.
“Sri, aku tak bisa berbuat apa-apa.
Biarlah kebahagiaan yang sedetik aku nikmati, kini menjadi milikmu selamnya. Di
hadapanku, wajahmu kini nampak asing. Bibirmu pucat. Matamu terpejam. Senyummu
sulit ku terjemahkan. Sekarang aku sangat menderita Sri, hidupku tidak
sesederhana yang aku kira. Begitu sebentar bahagia yang ku rasakan setelah sepuluh
tahun menderita kesepian dan ketragisan. Sayang kau tidak melihat kesedihan dan
kesepianku selama ini, atau sepuluh tahun terahir ini. Kadang aku berlimpah
bahagia, juga ruah sepi pada saat yang sama. Sri…” kerongkongannya tersumbat.
Sebagian kalimatnya lenyap. Lelaki itu hanya bisa melanjutkan kata-katanya
dalam pikiran. Ia kembali pasrah. Menyerahkan hidupnya pada alam. Membiarkan
kebahagiaan yang hanya sedetik berganti kepahitan yang tak bisa ia perkirakan
rampungnya. Sayup ia dengar alunan syair lagu dari bawah bukit.
“Mas,
sepurane wae. Kang mas ojo ngarep aku bali. Aku njaluk tulung ikhlas ing atimu.
Iki wis dadi
pilihan uripku…”
Dagan
Legok, 6 November 2010
0 comments:
Post a Comment - Kembali ke Konten