"Sri, Kapan Koe Bali?"

“Ndang balio Sri..ndang balio..aku loro mikir koe ono ning endi..ndang balio Sri..ndang balio..tego temen koe minggat ninggalke aku..”
Lengkap sudah syair lagu itu menerjemahkan penderiataannya. Setelah sepuluh tahun berlalu, tak sepatah kabarpun ia peroleh dari separuh nyawanya. Kini, hidupnya adalah separuh jiwa yang mati. Ia berikrar pada bumi dan langit untuk menyudahi nyawanya yang tinggal setengah. Ia ingin mati. Mati yang sempurna. Ia ambil sebilah pisau dapur. Matanya nanar memandang bagian dadanya yang bidang. Sekali saja ia hujamkan pisau itu di tengah dadanya, maka sempurnalah matinya. Ia pejamkan mata. Menarik nafas dalam-dalam. Membulatkan rencana menyudahi nyawanya yang tinggal separuh itu.
Namun, fikirannya tak lekas membulatkan rencana itu. Sebaliknya, fikirannya membulat pada sebuah wajah perempuan. Semakin bulat, semakin nyata. Wajah, senyum, dan bagian-bagian tubuh  yang begitu tak asing baginya.
“Mas, tunggu aku pulang…!”
“Tidak Sri, bukan kau yang akan ku bulatkan di kepalaku. Kau sudah mati Sri, tunggu aku Sri!”
Perempuan itu melayang-layang di atas kepalanya. Sesekali senyumnya menyumbal. Pada penghabisan pandangan, matanya memuntahkan air. Lantas lenyap berganti warna hitam. Lengkaplah ketidakbulatan rencana lelaki itu. Pisau yang semula erat di genggamannya kini lunglai di tanah. Matanya terbuka. Ia menangis. Airnya seperti air mata yang muntah dari mata perempuan itu.
Berhenti menangis, giliran sepi menggantikan mata pisau dapur di tanah. Mata sepi itu benar-benar menusuk jantungnya. Bukan menghabisi nyawanya yang separuh, namun ia rasakan seolah kehidupan lain hadir dalam dirinya. Entah hidup apa namanya. Ia memutuskan untuk berlari kencang. Lebih kencang dari angin senja yang menerpa tubuhnya tatkala dulu ia bertemu dengan Sri di sebuah bukit kecil. Ia terus berlari. Ia tabrak benda apapun yang ada dihadapanya. Lelah dan berdarah, jatuh dan bangun ia berlari menuju bukit kecil itu.
Di tengah sengal nafasnya, ia sempat mengutuk perbuatannya itu. Benaknya, kenapa ia jadi seperti anak kecil? Bukankah sebenarnya sangat sederhana hidup ini? Pada mulanya hanyalah sebuah pertemuan dengan seorang perempuan yang ia panggil Sri. Keduanya menikah. Selanjutnya adalah harapan.
Ya, harapan. Harapan akan hidup yang lebih baik dari sebelumnya. Sri pergi merantau ke negeri seberang. Setahun dua tahun, Sri menyisihkan rezeki untuk suaminya. Ia berpesan pada suaminya untuk membangun rumah sederhana di bawah bukit. Dan baru setengahnya saja rumah itu berdiri. Tiga tahun empat tahun Sri jarang menyisihkan rezekinya. Lima sepuluh tahun tak ada kabar sama sekali. Usaha untuk memenuhi harapan hidup itulah yang menjadikan hidup tidak sesederhana yang mereka pikirkan.
Selanjutnya, lelaki itu menyadari bahwa hidup memang tidak sederhana. Dan di atas bukit kecil, ia seperti menyesali hidup. Menyesali pertemuannya dengan Sri.
Penyesalan yang kini ia rasakan, selaksa mengamini bahwa apa yang baru saja terjadi dalam dirinya bukanlah perilaku anak kecil. Pikirannya kembali setengah bulat pada rencana awal. Rencana menghabisi separuh nyawa dalam tubuhnya. Baginya, hidup hanyalah penderitaan. Penderitaan itu menyulap dirinya menjadi mahluk yang asing. Entah mahluk apa namanya. Sungguh ia merasa terasing. Sangat asing dari asing itu sendiri. Ia kembali berlari menuju rumah. Membulatkan rencana menghabisi separuh nyawanya dengan pisau dapur.
Sampai di rumah, bukan kepalang terkejutnya. Matanya menangkap sesosok jasad perempuan yang bersimbah darah. Lantai tanah berubah merah. Sebuah pisau menancap di dada jasad itu. Lelaki itu begitu akrab dengan jasad itu.
Ia kembali menyesal. Jika saja pisau dapur itu ia buang tentu ia tidak akan melihat jasad perempuan itu. Atau bila saja pisau dapur itu ia kubur, tentu ia tidak akan melihat genangan darah di lantai rumahnya. Kini, genaplah ia menjadi lelaki yang kesepian dan terjangkit penyakit keasingan. Sejak saat itu, ia pasrahkan hidupnya pada alam.
“Aku tidak akan menghabisi nyawaku yang tinggal separuh ini” begitu nyanyinya pada setiap orang yang lewat di depan rumahnya. “Hai..aku mencintai hidupku yang sepi dan asing ini. Aku menyayangi ketragisan ini. Sungguh aku menyayanginya!”
Orang-orang terlanjur menganggapnya gila. Mereka membiarkan lelaki itu bernyanyi sendiri. Pada satu kesempatan, tak jarang orang-orang melihatnya menangis. Pada kesempatan lain, mereka melihat lelaki itu terbahak-bahak. Menubrukan kepalanya pada tiang-tiang teras rumahnya. Menari-nari. Meraung-raung. Sejadi-jadinya.
Agaknya perilaku lelaki itu dianggap telah bertentangan dengan peraturan kampung. Oleh karenanya, atas kesepakatan warga dan sesepuh kampung, lelaki itu di arak ke atas bukit.
“Kenapa kalian mengarakku!” protesnya.
“Karena kau lelaki gila” pemuda tanggung menyahutnya.
“Hai…aku tidak gila. Aku masih waras. Aku hanya kehilangan separuh nyawaku” katanya. Tak ada suara menimpalinya. Setelah mengikat kedua kakinya, warga pergi meninggalkannya.
“Tunggu…! Sesepuh kampung, tolong lepaskan tali di kakiku ini. Aku tidak gila. Aku waras, sesepuh!”. Tak ada suara. Warga membalikan badannya lalu pergi meninggalkan lelaki itu. Tak ada apa-apa. Yang ada hanya suara lelaki itu, semakin jauh dari telinga warga.
Hujan membasahi kampung. Kalen-kalen berwarna coklat. Talang-talang luber. Dinding-dinding rumah setengahnya kotor. Bacin paceran membuncah. Tai-tai terbawa air. Sampah-sampah berserakan. Hujan terus berlanjut. Sejak lelaki itu diarak warga siang tadi, hujan belum lelah membasahi tanah. Bahkan, kini mulai membanjiri rumah-rumah warga. Mulanya semata kaki orang dewasa. Lama kelamaan selutut, sepusar, lalu sedada orang dewasa. Beberapa warga yang beranak kecil meninggalkan rumah menuju ke tempat yang lebih tinggi. Di kampung itu hanya ada satu tempat tinggi. Tempat dimana lelaki itu diikat warga. Suara kentong sebanyak lima kali ketukan membuat warga berduyun-duyun naik ke tempat yang lebih tinggi. Bagi sebagian warga yang telah berada di atas bukit, kampung mereka berubah menjadi lautan berwarna coklat.
“Sesepuh, kenapa hujan ini menenggelamkan kampung kita!” seseorang bertanya pada sesepuh kampung.
“Apakah para dewa sedang marah!” lainnya menyahut. Sesepuh terdiam. Ia teringat lelaki gila yang tadi siang diarak. Ia berlari ke puncak bukit. Sesepuh kaget. Air hujan yang menenggelamkan kampung rupanya bukan dari langit, tapi dari mata lelaki gila itu. Ia sedang menangis. Dan, air matanya menenggelamkan kampung.
“Hentikan tangisanmu wahai lelaki gila!” pinta sesepuh.
“Sesepuh! Jangan suruh aku berhenti menangis. Aku sedang menikmati tangisanku ini. Tangisku ini adalah tangis bahagia. Ternyata aku hidup bahagia, sesepuh!” jawabnya.
“Hentikan tangisanmu, su! bentak sesepuh.
“Ha...ha…aku tidak mungkin menghentikan tangisan ini sesepuh, aku sedang berbahagia.
Sungguh bahagiaku ini adalah bahagia yang tak ada bandingnya. Mari ikut menangis saja sesepuh, biar aku bisa berbagi kebahagiaan. Lihatlah wajah-wajah penduduk kampung sesepuh, lihatlah kecemasan memoles wajah-wajah mereka ha..ha..Lihat juga wajahmu sesepuh, wajahmu pucat. Matamu menyimpan kecemasan dan keputusasaan. Lihatlah dirimu sesepuh?”. Sesepuh kampung berlari ke bawah bukit. Dan kembali ke atas bukit dengan seorang perempuan yang berlumur darah. Melihat perempuan berdarah itu, lelaki gila berhenti menangis. Hujan reda. Pelangi melengkung di seberang kampung.
“Lihat siapa yang ku bawa ini lelaki gila, ha…ha…!”
“Bunuh saja aku sesepuh!” rintih si lelaki.
“Membunuhmu berarti melanggar hak azasimu. Agar air matamu tidak menenggelamkan kampung, biar ku ikat saja jasad perempuan ini di depan matamu. Ha..ha..!” sesepuh menang. Selesai mengikat jasad perempuan itu pada sebuah batang pohon, sesepuh pergi meninggalkan lelaki gila itu.
Sepi kembali menyergap. Lelaki itu terdiam. Air matanya tertahan. Kebahagiaan yang baru saja ia tumpahkan, kini lenyap. Jasad perempuan di hadapannya seolah tertawa setelah merebut kebahagiaannya. Ia ingin membuang jasad itu, namun kakinya terikat.
“Sri, aku tak bisa berbuat apa-apa. Biarlah kebahagiaan yang sedetik aku nikmati, kini menjadi milikmu selamnya. Di hadapanku, wajahmu kini nampak asing. Bibirmu pucat. Matamu terpejam. Senyummu sulit ku terjemahkan. Sekarang aku sangat menderita Sri, hidupku tidak sesederhana yang aku kira. Begitu sebentar bahagia yang ku rasakan setelah sepuluh tahun menderita kesepian dan ketragisan. Sayang kau tidak melihat kesedihan dan kesepianku selama ini, atau sepuluh tahun terahir ini. Kadang aku berlimpah bahagia, juga ruah sepi pada saat yang sama. Sri…” kerongkongannya tersumbat. Sebagian kalimatnya lenyap. Lelaki itu hanya bisa melanjutkan kata-katanya dalam pikiran. Ia kembali pasrah. Menyerahkan hidupnya pada alam. Membiarkan kebahagiaan yang hanya sedetik berganti kepahitan yang tak bisa ia perkirakan rampungnya. Sayup ia dengar alunan syair lagu dari bawah bukit.    
“Mas, sepurane wae. Kang mas ojo ngarep aku bali. Aku njaluk tulung ikhlas ing atimu. Iki wis dadi pilihan uripku…”

Dagan Legok, 6 November 2010

Recommended Posts :

0 comments:

Post a Comment - Kembali ke Konten